Skip to main content

Senjata Tepat Guna

Awalnya, saya bingung untuk memilih judul postingan ini, antara "SENJATA MUTAKHIR" atau "SENJATA TEPAT GUNA". Fine, setelah searching arti kata mutakhir dalam KBBI yang ternyata berarti akhir, modern, maka saya memantapkan hati untuk memilih opsi kedua.

Menurut saya, senjata adalah sebuah alat yang akan membantu manusia mempermudah pekerjaan ataupun memenuhi kebutuhannya. Namun, sering kali saya lebih condong untuk menafsirkan sebagai alat untuk tidak kekerasan, sebut saja untuk berburu, membunuh, atau menghancurkan. Bagaimana dengan anda menafsirkan kata senjata ?

Lebih lanjut, bukan masalah bagaimana kita menafsirkan senjata, menilai seberapa hebat senjata, maupun senjata jenis apa yang akan saya paparkan. Jangan bayangkan pula bahwa saya akan membicarakan senjata macam ini


 atau senjata seperti ini


Bukan... Senjata disini, sangat jauh dari pemikiran awal saya mengenai alat pemusnah dan kawan-kawannya itu.

Saat ini saya akan berbagi pengalaman mengenai batapa pentingnya memiliki "senjata tepat guna".

Kesadaran untuk memiliki senjata tepat guna ini saya rasakan ketika saya berada di medan perang (lebay). Bukan medan perang yang mengharuskan saya melawan musuh dengan alat-alat pemusnah, tapi ini medan yang mengharuskan saya berperang dengan waktu, yaitu saat diberi amanah untuk menyebar buletin di fakultas-fakultas kawasan sainstek UGM. Dengan waktu yang terbatas karena ada agenda lain, rasa lelah yang teramat sangat karena harus gowes dari MIPA Selatan ke MIPA Utara yang jalannya relatif  naik, ditambah lagi tidak mengenal medan yang harus kudatangi, membuat saya menuju TKP dengan bondo nekat (bonek). 

Sesampainya di depan papan sasaran untuk menempel buletin, saya celingukan kerana hanya bermodal buletin tanpa membawa lem, solasi, solasi bolak-balik, maupun paku pines. Alhasil, saya hanya memandangi papan dan sedikit kesal. Lebih parahnya lagi, tak hanya di satu fakultas, tapi beberapa fakultas di lingkungan UGM. Sehingga saya harus balik ke tkp keesokan harinya. Tentu, dengan modal selotip (ga mau balik untuk ketiga kalinya!!!!!!)

Pengalaman kedua, tentang senjata tepat guna ini masih serumpun dengan pengalaman pertama. Yupz, it about stationery.





 Kalau pengalaman pertama hanya membuatku celingukan, untuk yang ini membuatku harus menahan malu.

Begini kronologinya. Pagi hari saya sudah menyiapkan buku dan alat tulis untuk ke kampus. Karena masih terlalu pagi, saya bongkar lagi tempat pensil saya untuk nyicil menulis laporan praktikum. Tanpa sadar, ternyata waktu bergulir sangat cepat, dan saya harus segera berangkat karena sudah janjian untuk cari plakat di Jalan Mataram. Waktu itu masih jam 8.30 WIB dan toko-toko masih tutup. Akhirnya kami mencari alternatif lain dan menuju daerah Sagan. Sayang, yang kami cari tidak ada. Berlanjut menuju Selokan Mataram dekat Gejayan, tapi tokonya masih tutup. Bukannya frustasi, tapi karena teman saya masuk jam 09.00, jadi pencarian kita pending dulu. Saya pun menuju tempat janjian dengan teman saya yang lain. Saya menuju kostnya dan membantu dia ke bengkel untuk membenahi motornya yang mogok (lagi). Karena lama proses ndandaninnya, kami pun ke kampus terlambat untuk mata kuliah Matematika Fisika 2. Kami hanya menikmati rumitnya baris demi baris kalimat matematika itu sekitar sepuluh menit dan kuliah usai. Next, saya menuju MIPA Utara untuk janjian dengan orang ketiga. Nah, orang ketiga ini yang bikin emosi tingkat dewa. Janjian jam 12 dan baru datang sekitar jam 2. Arrrrggghh bikin saya terlambat lagi untuk masuk kuliah. Saya terlambat sekitar sejam di mata kuliah pilihan Proteksi Radiasi. Mata kuliah pilihan ini sebaiknya diambil oleh mahasiswa tingkat 3 dan saya satu-satunya makhluk angkatan 2 yang menyesatkan diri memilih mata kuliah ini.

Saat saya akan masuk kelas, wajah-wajah mengantuk terlihat jelas di wajah kakak tingkat. Begitunya saya masuk dan duduk, saya bak penyihir yang mampu mengalihkan perhatian mereka. Rasa kantuk mungkin berubah menjadi tanda tanya besar. "Jam segini baru datang? Siapa sih kamu???" maybe. 

Lalu, seorang kakak tingkat memberiku lembar absent. Kuterima dengan tangan terbuka juga sedikit senyum, tapi manis kok senyumku :)
Otomatis kubuka tas dan kucari tempat pensil. Dan saya baru tahu kalau saya lupa tidak memasukkan alat tulis saya setelah menggunakannya untuk menulis laporan tadi pagi. Saat itu, kebingungan memuncak. Masak iya pinjam kakak tingkat, malu lah. Tapi, gimana mau absent, satu polpen pun aku tidak membawanya. Mata Kuliah Proteksi Radiasi yang tinggal sekitar 50 menit kunikmati dengan mendengarkan saja (gimana mau nulis, orang ga bawa polpen). Dan di detik-detik terakhir, akhirnya kuberanikan diri untuk pinjam polpen kakak tingkat, walaupun malu.

Dan benar saja, bukan wajah ramah dan senang hati saat meminjamkan polpen tersebut. Tapi pertanyaan demi pertanyaan seperti rintik hujan yang turun bertubi-tubi membasahi tanah. "Kamu nggak bawa polpen?" "Kamu niat ga sih dek?" "Terus ngapain kuliah ga bawa polpen?" "Dari tadi terus cuma diam aja?" "Lain kali bawa dong dek" dan bla... bla... bla....

Oke, hari itu saya benar-benar sadar, bahwa senjata tepat guna itu sangat penting. Senjata tepat guna bagi mahasiswa adalah polpen, tapi jangan lupa bawa kertasnya juga. Buat apa bawa kertas tanpa polpen? Tapi bawa polpen tanpa kertas juga tidak akan berguna. Huhhhh...

Dari pengalaman hari Rabu, 10 Oktober 2012 lalu, saya sadar bahwa senjata tepat guna tak harus senjata mahal. Cukup senjata sederhana yang tepat untuk pemanfaatannya di waktu kita butuh, di tempat kita perlu, dan berguna membantu menyelesaikan masalah-masalah kita, juga memenuhi kebutuhan kita.

Nasihat untuk diriku lagi adalah : jangan berperang di medan yang kamu tak kenal, jangan berperang juga tanpa membawa bekal! 

Perang tanpa senjata mungkin tak ayalnya seperti menyerahkan diri pada musuh.






Comments

Popular posts from this blog

Resume Tafsir QS Al Mulk Ayat 1-4 Tafsir Al Azhar

Setelah membaca tafsir Al Azhar pada bagian surat Al Mulk ayat 1-4, ada beberapa hal yang aku highlight. Aku tulis di sini agar lain waktu bisa dibaca kembali resumenya. Semoga juga bermanfaat untuk pembaca 🤗 1 . Mahasuci Dia yang di dalam tanganNya sekalian kerajaan dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan. Kekuasaan yang kekal hanyalah milik Allah. Sedang kekuasaan yang ada pada manusia (jabatan/amanah) hanyalah pinjaman dari Allah. Kapan saja bisa Allah ambil. Karena itu sangat rugi jika kekuasaan digunakan untuk keburukan. Allah maha penentu segala sesuatu yang di langit dan di bumi. Di sini relate juga dengan sains, bahwa dengan menggali rahasia alam semesta kita bisa mendapat pengetahuan tentang segala yang dilihat, didengar, dan diselidiki. Sehingga semakin paham juga mengenai takdir. Bahwa alam semesta ini Allah takdirkan mengikuti ketentuan Allah, saling berhubungan satu dengan yang lainnya.  Segala sesuatu Allah ciptakan dan atur mengikuti sunatullah. Seperti ra

Filosofi Pupus: Hakikat Pupus adalah Bertumbuh

Assalamu'alaikum Sahabat Sophie 😉 Hakikat pupus adalah bertumbuh Kadang aku geli sendiri sama hal-hal yang datang dan pergi tanpa permisi. Datangnya bikin terkejut bahagia, tapi siapa sangka kalau perginya bikin lebih terkejut lagi. Apa iya hidup sebercanda ini? Kadang aku sampai mikir kaya gitu. Meskipun sampai saat ini masih meyakinkan diri, Nggak kok, hidup nggak sebercanda itu, pastilah ada yang sedang Ia rencanakan. Kamu nggak ngerti aja mekanisme kerjaNya untuk memberikan yang terbaik versiNya. Benar-benar unpredictable dan waw banget gitu loh. Maka benar adanya, kita sebagai seorang hamba, harus terus meminta, agar diistiqomahkan dalam menjaga hati, karena hati kita bisa saja berbolak-balik. Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi 'alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu) Selanjutnya, bagaimana kita menjaga hati dan diri agar tak gentar. Seperti lirik lagunya Abbey dan Zoe bareng Bapaknya yang berjudul Pel

Yakinlah, Semua Indah pada Waktunya

Wisuda? alah itu hal biasa, pikirku. Saat itu aku santai-santai aja, bahkan jika harus menunda wisuda, rasanya tak apa. Pertama, ada tanggung jawab moral untuk nungguin dia, gak enak kalo wisuda duluan, padahal dia belum pendadaran. Dia? siapa sih? Yaps, dia adalah partner skripsian saya. Waktu saya sidang duluan aja, saya gak tega sebenernya, sidang duluan sedang dia masih berkutat dengan analisis. Pasca saya sidang, saya pun bisa membaca wajahnya yang begitu sedih dan mungkin marah, karena itulah setelah sidang saya justru sibuk nyariin dia yang entah ilang kemana.  Tapi, kalo saya gak segera yudisium, itu berarti harus bayar SPP lagi, saya sungkan kalo harus minta orang tua buat bayar SPP lagi, apalagi di semester delapan saya harus bayar SPP dan BOP karena gak dapet beasiswa lagi untuk semester itu. Mungkin karena IP semester sebelumnya untuk syarat beasiswa juelek banget, jadi gak lolos seleksi. Hihihihi semester berapa itu, saya lupa, pokoknya IP saya dua koma gitu deh