Kelulusan Pertama di Cemara Sewu

Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, Gie mengutip perkataan penyair Amerika, Walt Whitman, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”. Begitulah kutipan dari sebuah buku yang aku pinjam dari seorang teman. Kalimat itulah yang mengusikku untuk mendaki gunung. Terlebih, setelah melihat film Gie besutan Riri Reza. Scene di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango membuatku semakin ingin muncak. Rasanya, mendaki itu adalah perpaduan nilai dan keindahan. Nilai-nilai tentang kehidupan yang mendasar juga indahnya bentang alam, ciptaan Sang Khaliq.  Walaupun semua itu masih sangat abstrak tergambar dalam bayanganku karena aku belum pernah mendaki.

Di tahun pertama aku kuliah, beberapa temanku adalah seorang pendaki. Mendengar cerita pengalaman mereka, benar-benar membulatkan tekadku untuk mendaki gunung. Dalam resolusi tahunanku, naik gunung menjadi salah satu agenda. Di Tahun 2012 aku mulai membuat resolusi naik gunung. Hingga aku bercerita ke orang tua, kalo aku sangat-sangat ingin naik gunung. Tapi, selalu saja orang tuaku tak pernah memberikan ijin dengan berbagai alasan. Terlebih, karena aku satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara sehingga orang tua sangat pelit memberikan restu untuk impian ini.

Bagiku, impian naik gunung adalah impian yang sederhana. Namun, hanya dengan membayangkannya saja sudah membuatku sangat bahagia. Terlebih jika suatu saat impian itu bisa menjadi nyata.

Demi mendapatkan SIM (Surat Ijin Mendaki) dari kedua orang tua, akhirnya aku menunjukkan kesungguhanku. Aku mulai menabung untuk membeli beberapa perlengkapan naik gunung. Ternyata, semuanya serba mahal! Namun karena tekadku yang bulat, aku rela menyisihkan uang makanku demi membeli sandal gunung. Bagi yang lain, mungkin akan mudah mengeluarkan uang segitu, tapi bagiku itu lebih dari uang saku satu minggu. Kemudian aku berhemat lagi, kali ini untuk membeli jaket tebal. Tidak disangka, ternyata orang tuaku sungguh baik hati. Saat aku benar-benar berhemat ketat demi sebuah jaket gunung, aku mendapat dua hadiah special dari orang tuaku: Jaket dan SIM! Sungguh tak disangka, akhirnya aku lulus mendapatkan SIM.

Yeeeaahh!!! Rasanya lega sekali sudah mengkantongi Surat Ijin Mendaki dari orang tua. Ditambah lagi hadiah jaket cantiknya.

Namun ternayata, kesibukanku berorganisasi membuatku harus merelakan tawaran mendaki yang silih berganti. Saat SIM sudah kukantongi, kesempatan mendaki belum kunjung datang. Yang ada, sandal gunungku yang sudah beberapa kali naik gunung karena dipinjam oleh teman-teman, tapi pemiliknya malah belum pernah menggunakannya untuk mendaki. Resolusi tahun 2013 dan 2014 ku pun masih belum ganti, yaitu mendaki gunung.

Setelah sekitar dua tahun lebih sabar menunggu, akhirnya ada ajakan muncak yang pas dengan jadwal luangku. Bulan Oktober tahun 2014 ajakan muncak itu datang. Tujuan muncak perdana ini adalah Gunung Merbabu. How awesome! Terlebih muncaknya bersama teman satu organisasi, dimana kita sudah saling kenal, akrab, bahkan serasa saudara sendiri. Sungguh menggembirakan, ketika rencana muncak bersama ini akhirnya fix akan dilaksanakan.

Namun, lagi-lagi aku harus bersabar karena selang beberapa jam sebelum keberangkatan untuk mendaki, seorang teman kami yang akan memandu pendakian perdana kami, para amatir ini, dia harus pulang kampung karena ayahnya sakit. Untuk alasan yang satu itu, mana mungkin kami tidak mengijinkan. Dan setelah dipertimbangkan juga karena suatu hal, akhirnya fix dibatalkan.

Kecewa? Tentu saja. Marah? Sedikit. Namun kami semua menahan perasaan-perasaan itu. Toh, apa untungnya mengikuti keinginan untuk marah dan kecewa, hanya akan membuat parah sakit hati.

Lalu, kami menghubungi teman lain yang mungkin bisa mengawal kami para amatir untuk mendaki. Setelah lobi sana-sini, akhirnya ada yang bersedia dengan senang hati menemani kami mendaki. Namun, tak lagi Merbabu yang akan kami daki. Tujuan kami selanjutnya adalah Lawu. Teman-teman yang sempat kecewa karena dibatalkannya muncak ke Merbabu, kami hubungi lagi untuk turut serta mendaki ke Lawu. Sebagian memang sudah benar-benar kecewa dan tak ingin lagi mendaki, namun bagi kami para pejuang impian –untuk mendaki–, kesempatan ke Lawu adalah sebuah penawar rasa kecewa juga sekaligus penebus penantian akan impian naik gunung.

Kurang dari lima jam kami menyiapkan semua perbekalan kelompok maupun pribadi. Lalu kami segera berangkat dari Jogja menuju Magetan. Kami mulai pendakian dari Cemara Sewu. Sekitar pukul sembilan malam kami memulai pendakian. Dalam pendakian ini, kami berenam adalah para amatir, ditambah Septian sebagai pendamping yang dewa dalam hal mendaki.

Namun, sungguh tak disangka, baru mulai pendakian, salah satu dari kami, sudah tidak fit kondisinya. Mungkin karena kelelahan di perjalanan Jojga-Magetan. Masih sangat di awal, dia sudah kepayahan untuk jalan. Setiap beberapa langkah, dia harus berhenti untuk istirahat. Hanya untuk mencapai pos satu yang jalannya masih relatif mudah ini, kami harus berhenti berulang kali. Puncaknya ketika tiba di pos satu, dia meminta istirahat cukup lama karena kondisi fisik yang tak memungkinkan. Disinilah, kami mulai berembug tentang kelanjutan pendakian kami. Septian, sebagai pemandu mengatakan bahwa akan sangat sulit untuk sampai puncak dengan kondisi Maya seperti ini. Dan kami tidak akan tega meninggalkan Maya di pos satu seorang diri, sedangkan kami akan terus mendaki sampai puncak menuruti ego kami.

Setelah berbincang cukup serius, akhirnya kami sepakat untuk terus mendaki, namun cukup sampai pos dua saja. Pos dua menjadi target kami. Pendakian pun dilanjutkan, namun Maya semakin tidak memungkinkan kondisinya.

Pasca meninggalkan pos satu, jalan yang kami lalui berundak batu dan lebih terjal. Ini membuat Maya semakin kesulitan. Karena sudah masuk pagi hari, tekad kami untuk sampai pos dua pun kami gugurkan. Kami berhenti dan membuat camp tak jauh dari pos satu. Kemuadian keesokan harinya, kami sepakat untuk menyudahi perjuangan mendaki. Pendakian pertama kami di Lawu, cukup sampai pos 1 saja dulu.

Tentunya, keputusan ini tidak dengan mudah kami ambil. Sebenarnya berat untuk kami berlima —tanpa Maya dan Septian— untuk sepakat bilang ya cukup sampai disini saja. Namun kami rasa, inilah yang terbaik untuk semua.

Meski pendakian pertamaku tak samapi puncak, aku sudah merasa senang karena aku mendapatkan impianku. Mendaki gunung adalah tentang nilai dan keindahan, dan aku mendapatkan keduanya dalam perjalanan ini. Nikmatnya sabar, kebersamaan, tanggung jawab, dan peduli adalah puncak nilai yang kami dapati di puncak hati —bukan puncak Lawu—. Inilah keindahan muncak yang aku dan teman-teman rasakan. Di pendakian pertama para amatir ini kami lulus mencapai puncak kesabaran. 

Tetap tersenyum disaat keputusan akhir diambil :)
Perjalanan turun :)
Eksis di perjalanan turun :)
Pendakian ini begitu mengesankan. Terimaksih kawan :) :*

Kelulusan pertamaku ini kumaknai dengan terus semangat dan pantang menyerah dalam berjuang --memperjuangkan impian, cita, cinta, dan bahagia-- karena aku ingin ada kelulusan kedua, ketiga, dan setererusnya dengan nilai yang lebih baik.
Fastabiqul Khairat!
(Lawu, 24-25 Oktober 2014)






Comments