Ikan-ikan
Jari jemariku menjentik-jentikkan air dalam kolam. Air sesekali menciprat hingga ke wajah. Dingin. Tapi kesegaran sempurna yang sangat kunikmati. Bersit mentari pagi yang masih malu-malu, lalu embun yang menggelembung indah dan menitik satu-satu, perpaduan sempuna semesta. Bambu cina di belakang tempatku duduk sering kali jahil menggodaku dengan mengirim tetes-tetes embunnya yang gendut.
Senada dengan jemariku yang usil dalam air kolam, pikiranku berkelana kemana-mana. Melayang dalam angan dan khayalan. Rasanya ingin mencebur saja ke kolam, biar dimakan habis oleh koi-koi kecil yang sedang takut karena hadirku. Ah, ikan... makan saja aku, karena aku lelah. Letih memikirkan bagaimana caranya mengirim sinyal-sinyal yang makin kuat ini.
Aku takut, jika frekuensi sinyalnya semakin meninggi, maka akan meradiasi dan merusak sekitar. Bisa saja hatiku teradiasi, lalu aku menjadi gila dan membabi buta. Mana tahu itu bisa terjadi. Sebelum sinyal ini mengganggu habitat lain, rasanya ingin segera kulempar saja.
Kulempar dengan sudut 45 derajat sempurna, pas di hatinya, biar dia tahu apa yang kurasa. Aku mengaguminya.
Ahhh, mana bisa? Bagaimana bisa ia menangkapnya. Dia, kini mulai lenyap, hilang dari peredaranya. Mulai tenggelam dalam kesibukannya, mengejar deadline meraih samir kuning bukti lulus membuat skripsweetnya. Ah, mana bisa dia melihatku kini, bukankah ia tak pernah melirikku? Sinyal-sinyal dalam bingkai modus-modus operandi selalu gagal oleh sikap datarnya.
Ikan... makan saja aku, lahap aku hingga kau kenyang.
Dan kini tak hanya jemari yang menyatu dalam bening air kolam. Seluruh tubuhku hanyut dalam kolam. Meredam sinyal yang belum tersampaikan.
Comments
Post a Comment